Kamis, 04 April 2013

Apakah Kebudayaan Dapat Menjadikan Seseorang Berbudaya ?

Arief Syahrul Tiro
1262542019
Pendidikan Sejarah B


       Jika kita akan mengangkat tema diatas sebagai bahan sebuah pembahasan diskusi, yaitu "Apakah Kebudayaan Dapat Menjadikan Seseorang Berbudaya ?", tentu saja, saya mengatakan "Iya, kebudayaan membuat seseorang berbudaya".
       
       Pada dasarnya, Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari beberapa unsur unsur yang rumit yang terdiri atas beberapa hal mendasar, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
       
       Bahasa, sebagaimana juga budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.

       
       Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
       
       Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
      
       Budaya yang ada kemudian berkumpul dan menyatu, menjadi sebuah ciri non materiil pada suatu masyarakat. Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa Kebudayaan adalah “sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.”

        Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Berikut adalah beberapa cara pandang terhadap suatu kebudayaan :
1.      Kebudayaan Sebagai Peradaban

       Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan “budaya” yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang “budaya” ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap ‘kebudayaan’ sebagai “peradaban” sebagai lawan kata dari “alam”. Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
       Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang “elit” seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang “berkelas”, elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah “berkebudayaan”.
       Orang yang menggunakan kata “kebudayaan” dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang “berkebudayaan” disebut sebagai orang yang “tidak berkebudayaan”; bukan sebagai orang “dari kebudayaan yang lain.” Orang yang “tidak berkebudayaan” dikatakan lebih “alam,” dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran “manusia alami” (human nature)
       Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan “tidak alami” yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan “jalan hidup yang alami” (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
       Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap “tidak elit” dan “kebudayaan elit” adalah sama – masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

2.      Kebudayaan Sebagai Sudut Pandang Umum


       Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme – seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria – mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam “sudut pandang umum”. Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara “berkebudayaan” dengan “tidak berkebudayaan” atau kebudayaan “primitif.”
       Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.
       Pada tahun 50-an, subkebudayaan – kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya – mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan – perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

3.      Kebudayaan Sebagai Media Substansi


       Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.







       Pada perkembangan selanjutnya, maka kebudayaan yang juga mempunyai sangkut paut dengan budaya, dimana kebudayaan muncul dari sebuah budaya, dan budaya tersebut mempengaruhi masyarakat. Individu yang terdapat dalam masyarakat tersebut banyak yang terpengaruh dengan kebudayaan yang ada tanpa mereka sadari.
          Namun, kebudayaan yang sekarang muncul, tak selamanya berkaitan dengan harmonis diantara kehidupan masyarakat. Dan budaya tersebut pun menjadi terkucilkan dan dipinggirkan. Kebudayaan yang dimaksud adalah kebudayaan kebudayaan yang muncul akibat pikiran mereka sendiri, dan juga budaya yang muncul dari sebuah komunitas yang menganggap dirinya bukanlah bagian dari masyarakat.
       Pada hakikatnya, setelah melihat beberapa faktor diatas dan menghubungkan dengan pertanyaan awal, maka saya dapat menarik dan mengambil suatu kesimpulan bahwa  “kebudayaan itu sangatlah jelas mempengaruhi seseorang dan kebudayaan dapat menjadikan seseorang menjadi berbudaya, walaupun pada dasarnya, kadang mereka tak menyadari bahwa yang telah mereka lakukan itu adalah salah satu contoh dari budaya yang mereka ketahui dan mereka anut”

Rabu, 03 April 2013

Islam Masa Khulafaur Rasyidin

       Islam, setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. mengalami sebuah status, yaitu tidak dapat digantikan oleh siapapun (Khatami al-anbiya’ wa al-mursalin), namun kedudukan beliau yang kedua, sebagai pemimpin umat harus segera ada penggantinya. Orang tersebutlah yang dinamakan "Khalifah" yang menggantikan nabi untuk memimpin umat Islam dalam memberi petunjuk dan jalan yang benar serta melestarikan hukum dan ajaran Islam. Maka setelah  nabi wafat, para pemuka Islam langsung bertindak untuk segera mencari penggantinya. 

       Pada perkembangan selanjutnya, muncullah Khulafaur Rasyidin sebagai empat Khalifah pertama yang menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW. sebagai peminpin umat Islam. Mereka semua adalah pemimpin yang dekat sekaligus sahabat nabi, penerusan kepemimpinan mereka bukan melalui garis keturunan, melainkan pemilihan dan penunjukan secara mufakat. 

       Khalifah Rasyidah merupakan pemimpin umat islam yang menggantikan Nabi Muhammad SAW setela wafat, mereka adalah :
  1. Abu Bakar Ash-Shiddiq ( 11-13 H / 632-634 M)
  2. Umar bin Khattab ( 13-24 H / 634-644 M)
  3. Utsman bin Affan ( 24-36 H / 644-656 M)
  4. Ali bin Abi Thalib (36-41 H / 656-660 M)
       Pada masa ini, Islam berkembang sangatlah pesat, hal itu dikarenakan :
  1. Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
  2. Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Semangat dakwah tersebut membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
  3. Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
  4. Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.
  5. Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya untuk masuk Islam.
  6. Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
  7. Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
       Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun, (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan. Mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan para penguasa sesudahnya sering bertindak otoriter.

dikutip dari berbagai sumber

Renaissance

       Renaissance muncul akibat dari ketidaksepakatan antara beberapa tokoh dengan ordo gereja. Pada jaman tersebut, hampir seluruh kegiatan aspek hidup manusia diatur dan dipedomani oleh keputusan Gereja. Dominasi gereja pada saat itu amat kuat. Agama Kristen mempengaruhi berbagai kebijakan yang ada. Dapat dikatakan bahwa penguasa tidak ada apa apanya dibandingkan dengan pihak gereja pada saat itu. Berbagai hal akan dilakukan pihak gereja untuk menunjukkan dominasinya, tetapi jika ada pihak yang tak setuju, maka akan dibalas dengan perbuatan yang tak sepantasnya dilakukan.

       Kehidupan saat itu mendapatkan doktrinasi dari pihak gereja. Kehidupan saat itu seolah olah telah diatur oleh Tuhan lewat perpanjangan tangan melalui gereja. Pemikiran tentang ilmu pengetahuan hanya sebatas pada Teologi semata. Pemikiran pada saat itu hanya mengacu kepada pembenaran ajaran agama dan untuk alat bukti. Oleh karena itu, zaman tersebut disebut Dark Age.

       Dengan adanya pembatasan yang sangat dominan yang dilakukan oleh pihak gereja, maka disitulah muncul semangat Renaissance. Budaya Renaissance muncul pertama kali di Italia. Renaissance mucul akibat tumbuhnya kota perdagangan yang mengubah pola pikir manusia pada saat itu. Juga timbul karena penghapusan stratifikasi sosial.

       Dampak Renaissance :
  • Munculnya aliran baru yang mementingkan kebebasan akal
  • Renaissance membentuk masyarakat perdagangan yang berdaya maju
  • Banyak melahirkan tokok pemikir seperti Leonardo Da Vinci dan Michelangelo
  • Renaissance banyak melahirkan tokoh perubahan dan melahirkan masyarakat yang beradab