Arief Syahrul Tiro
1262542019
Pendidikan Sejarah B
Jika kita akan mengangkat tema diatas
sebagai bahan sebuah pembahasan diskusi, yaitu "Apakah Kebudayaan
Dapat Menjadikan Seseorang Berbudaya ?", tentu saja, saya
mengatakan "Iya, kebudayaan membuat seseorang berbudaya".
Pada
dasarnya, Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari beberapa unsur unsur yang rumit yang terdiri atas
beberapa hal mendasar, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni.
Bahasa, sebagaimana juga budaya merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.
Budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut
menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan
meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Citra budaya yang bersifat memaksa
tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang
layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang
dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka. Dengan demikian, budayalah yang
menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas
seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
Budaya yang ada kemudian berkumpul dan
menyatu, menjadi sebuah ciri non materiil pada suatu masyarakat. Dari
pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa Kebudayaan
adalah “sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.”
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah
benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku,
bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Berikut adalah beberapa cara pandang terhadap suatu
kebudayaan :
1.
Kebudayaan
Sebagai Peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan “budaya” yang dikembangkan
di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang “budaya” ini
merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan
daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap ‘kebudayaan’ sebagai “peradaban”
sebagai lawan kata dari “alam”. Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan
kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi
dari kebudayaan lainnya.
Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk
pada benda-benda dan aktivitas yang “elit” seperti misalnya memakai baju yang
berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata
berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan
mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika
seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang “berkelas”, elit,
dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang
kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang
yang sudah “berkebudayaan”.
Orang yang menggunakan kata “kebudayaan”
dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya
bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di
seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang
berbeda dengan mereka yang “berkebudayaan” disebut sebagai orang yang “tidak
berkebudayaan”; bukan sebagai orang “dari kebudayaan yang lain.” Orang yang
“tidak berkebudayaan” dikatakan lebih “alam,” dan para pengamat seringkali mempertahankan
elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran
“manusia alami” (human nature)
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial
telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan,
tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan
interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang
merusak dan “tidak alami” yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar
manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat
kelas pekerja) dianggap mengekspresikan “jalan hidup yang alami” (natural way
of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak
untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang
pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap
“tidak elit” dan “kebudayaan elit” adalah sama – masing-masing masyarakat
memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial
membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau
pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi
oleh banyak orang.
2. Kebudayaan Sebagai Sudut Pandang
Umum
Selama Era Romantis, para cendekiawan
di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme – seperti
misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan
nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria –
mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam “sudut pandang umum”. Pemikiran
ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan
kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun
begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara “berkebudayaan”
dengan “tidak berkebudayaan” atau kebudayaan “primitif.”
Pada akhir abad ke-19, para ahli
antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas.
Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh
dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.
Pada tahun 50-an, subkebudayaan –
kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya – mulai
dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula,
terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan – perbedaan dan bakat dalam
konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.
Teori-teori yang ada saat ini
menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah sebuah produk dari stabilisasi yang
melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam
suatu masyarakat, atau biasa disebut dengan tribalisme.
Pada perkembangan
selanjutnya, maka kebudayaan yang juga mempunyai sangkut paut dengan budaya,
dimana kebudayaan muncul dari sebuah budaya, dan budaya tersebut mempengaruhi
masyarakat. Individu yang terdapat dalam masyarakat tersebut banyak yang
terpengaruh dengan kebudayaan yang ada tanpa mereka sadari.
Namun, kebudayaan yang sekarang muncul, tak
selamanya berkaitan dengan harmonis diantara kehidupan masyarakat. Dan budaya
tersebut pun menjadi terkucilkan dan dipinggirkan. Kebudayaan yang dimaksud
adalah kebudayaan kebudayaan yang muncul akibat pikiran mereka sendiri, dan
juga budaya yang muncul dari sebuah komunitas yang menganggap dirinya bukanlah
bagian dari masyarakat.
Pada hakikatnya,
setelah melihat beberapa faktor diatas dan menghubungkan dengan pertanyaan awal,
maka saya dapat menarik dan mengambil suatu kesimpulan bahwa “kebudayaan itu sangatlah jelas mempengaruhi
seseorang dan kebudayaan dapat menjadikan seseorang menjadi berbudaya, walaupun
pada dasarnya, kadang mereka tak menyadari bahwa yang telah mereka lakukan itu
adalah salah satu contoh dari budaya yang mereka ketahui dan mereka anut”